Pages

Januari;rindu

Jika aku mengingat awal pertemuan kita di sebuah situs sekitar dua tahun lalu, aku selalu mengingat setiap perasaan yang membumbui setiap pesan yang aku terima dan aku kirim dari dan kepadamu.
Siapa sangka, pertemuan yang "iseng" itu memiliki cerita sepanjang ini? Cerita tentang dua orang yang selalu bertemu tidak pada saat yang tepat.
Bukan sekali aku menerima pesan "gue tuh sayang tau sama lo, beb". Bukan sekali juga aku tersipu tak dapat berbicara saat membacanya, hanya saja saat itu kamu masih memiliki dia, entah siapa, yang pasti dia yang ada di hatimu selain aku.
Aku lupa kapan terjadi, tapi pada saat yang sangat kurang tepat, kamu menceritakan bahwa kamu baru saja memenangkan hatinya, Tuhaaaaan.. Aku senang saat kamu senang, hanya saja ada yang menyumbat di perasaan dan terasa sesak.
Waktu berganti, takdir kembali mempertemukan kita lagi di jejaring sosial, bahkan aku lupa kapan terakhir aku berkirim pesan denganmu. Kamu menanyakan kabar dan menceritakan kerinduan. Ahh.. Tak perlu kamu tanyakan lagi, rindu ku sudah menggunung tak terbendung. Masih, cerita - cerita absurd yang kamu sampaikan, meskipun begitu aku masih tertarik padamu persis seperti awal kita berbincang di situs itu.
Bagaimana hatimu? Masihkah dimilikinya? Beberapa waktu lalu, aku membaca kiriman - kirimanmu menyampaikan kerinduan berbahasa asing dan menandai sebuah nama cantik. Aku sudah tidak merasa aneh dengan sesak yang aku rasakan, justru akan terlihat aneh jika aku menyampaikan cemburu ku padamu, sedangkan aku bukan orang yang berhak mencemburui rindu mu padanya.
Singkat cerita, aku mendapat kabar baik! Pertanyaan ku terjawab dengan pertanyaan "ripki, lu mau enggak jadi pacar gua?". Sial! Yang muncul justru ketakutan, karena kejadian sebelumnya tidak semulus ekspektasi malah memperkeruh jarak. Apalagi, selama ini jarak kita lebih dari 700 km. Aku takut percakapan absurd yang menyenangkan selama ini berubah membosankan.
Berganti bulan, komunikasi kita masih berjalan baik, meskipun aku mulai resah kamu mulai sering tidak membalas pesan ku, semakin lama aku belajar untuk mengerti waktumu, meskipun kadang aku bergumam "dulu, kita sering menertawakan malam yang iri akan keakraban kita, tapi kenapa sekarang kamu begitu sulit untuk sekedar meredakan khawatir ku?".
Gumaman hanyalah gumaman, pikiran yang kadang seharusnya tidak perlu. Bodohnya, aku berulang kali memikirkan hal yang sama.
"Kemungkinan terburuk kadang perlu di pikirkan". Aku bangun dari lamun ku, tiba - tiba terdengar kalimat itu keluar dari bibir salah satu mas-mas yang sedang menyeruput minuman berwarna hitam pekat, dimana aku berada ditengah gerombolan mereka. Aku kembali pada lamunan ku tentang mu yang sudah mulai melonggarkan keakraban perbincangan kita, apa yang sedang kamu lakukan? Sedang berjuang memotong jarak kitakah? Bahkan di hari kamu berjanji untuk menemui aku pun kamu masih tidak dapat aku cari dalam pesan masuk ku, kecewa ini hampir tiba di puncaknya, sampai kamu akhirnya muncul di pemberitahuan ponsel ku, sedikit melegakan keresahan ku, walaupun aku kecewa karena seharusnya saat ini aku sudah memeluk mu erat, bukan lagi hanya bayang mu! Bendungan ku runtuh, air mataku jatuh. Beruntung kamu adalah ahli membuatku mencintai cara mu mengembalikan senyum ku. Sampai terulang kejadian yang sama di berapa bulan kemudian, aku masih mencintaimu seperti sebelumnya.
Kesalahanku, aku terlalu cepat percaya pada orang lain dan menceritakan galau ku akan kamu. Sehingga ada saja orang yang mencari celah kerenggangan aku dan kamu.
Di hari ulang tahun ku, bukan kamu yang mengantarkan aku kue dengan gambar karakter kesukaanku di atasnya disertai lilin romantis. Bukan kamu yang memberikan aku kado sepatu yang aku dambakan. Bukan kamu juga yang menghiasi lantai dengan pasir bertuliskan namaku dihiasi lilin sederhana di sekitarnya.
Kenapa semua ini dilakukan justru oleh orang yang bahkan belum genap satu tahun mengenalku? Kenapa bukan kamu? Yang mengaku menyayangi ku.
Kebahagiaan bersanding kecewa dalam satu malam. Apa yang bisa aku lakukan jika begini? Membayangkan bahwa dia yang melakukan ini adalah kamu? Bukankah itu terlalu jahat? Aku mencoba menepis pikiran keruh itu, aku ganti dengan kalimat sayang mu.
Tak bisa dipungkiri, pikiran buruk selalu mampir di kepala yang selalu merindukan wujud mu.
Tak terasa, aku bertemu dengan Januari ke tiga setelah percakapan di Januari pertama kita. Aku merindukan Januari yang penuh tawa setiap malamnya, Januari yang penuh kalimat sayang mu, Januari yang penuh teguran Ibu setiap tengah malam karena gaduh nya kamar ku dengan suara kerinduan. Aku rindu menyandarkan tangis ku di tenang nya suara mu.